Naturalisasi dan Diaspora yang Massif

Administrator

16/10/2024

Timnas Indonesia dengan program naturalisasi dan efeknya bagi pemain asli Indonesia di masa depan. ((ilustrasi : Menk Karmawan/G-Sports.id).
Sepak bola Indonesia dalam fase penting ketika banyaknya pemain diaspora dan naturalisasi di Timnas Indonesia, dibutuhkan program yang lebih kuat pula dalam mempersiapkan bibit muda dari pemain lokal untuk masa depan. ((ilustrasi : Menk Karmawan/G-Sports.id).

JAKARTA – G-SPORTS.ID – Ada negeri di mana sepak bola terasa lebih tinggi dibandingkan dengan olahraga lainnya. Sepak bola selalu dibahas, dianalisis, diharapkan, baik itu di warung kopi, di cafe, di ruang-ruang kantor, atau di waktu senggang bersama keluarga.

Dari level individu, berbagai komunitas, pekerja, hingga elite politik, budayawan, seniman, atlet, atau anak-anak di lingkungan tempat tinggal hingga di sekolah. Semua menginginkan impian yang sama: Piala Dunia yang akan digelar pada Juni 2026 nanti.

Namun, impian yang sama tersebut di saat sekarang ini dibangun dengan pemikiran berbeda tentang satu hal yang terus berjalan di negeri tersebut: Naturalisasi dan diaspora. Ya, negeri tersebut adalah Indonesia, negeri tercinta ini.

Jalan Tercepat
Dari 11 pemain belakang yang masuk skuad Timnas Indonesia untuk laga lawan Bahrain pada 10 Oktober 2024 lalu dan menghadapi Cina pada Selasa (15/10/2024) malam ini WIB, hanya lima pemain yang lahir di Indonesia.

Mereka adalah Rizky Ridho, Pratama Arhan, Wahyu Prasetyo, Asnawi Mangkualam, dan Muhammad Ferrari. Sedangkan dari 8 gelandang yang dipanggil, 4 di antaranya lahir di Indonesia.

Di lini depan, dari lima penyerang ada tiga yang lahir di Indonesia mereka adalah Malik Risaldi, Dimas Drajad, dan Hokky Caraka. Untuk posisi di bawah mistar, ada dua pemain kelahiran Indonesia yaitu Nadeo Argawinata dan Emando Ari.

Pertanyaannya, apakah para pemain Timnas Indonesia tersebut mendapatkan peran yang cukup dalam Pasukan Garuda?

Ketika imbang 2-2 lawan Bahrain, hanya ada pemain yang memang lahir di Indonesia sebagai starter: Malik Risaldi, gelandang kelahiran Surabaya yang kini bermain di Persebaya Surabaya. Sedangkan 10 pemain lainnya yang diturunkan sebagai starter di laga tersebut, semuanya pemain yang berstatus diaspora dan naturalisasi.

Ketika kalah 1-2 dari Cina pada Selasa (15/10/2024) lalu, hanya dua pemain berstatus asli Indonesia, Witan Sulaeman dan Asnawi Mangkualam yang ditempatkan sebagai starter, 9 pemain lainnya pemain keturunan dan naturalisasi.

Lalu dalam laga sebelumnya, menghadapi Australia, hanya dua pemain kelahiran Indonesia dalam starter yaitu Rizky Ridho dan Marselino Ferdinan, 9 pemain lainnya adalah pemain diaspora dan naturalisasi.

Hal yang sama juga terjadi ketika menghadapi Arab Saudi, di mana Witan Sulaeman dan Rizky Ridho menjadi dua pemain kelahiran Indonesia dalam starter di laga tersebut.

Itulah wajah starting line-up Timnas Indonesia. Harapan atau mimpi untuk tampil di ajang Piala Dunia dilakukan dengan jalan pintas dari aspek materi pemain.

“Jalan pintas” terkesan berkonotasi negatif. Istilah “doping” juga muncul ke permukaan terkait kehadiran para pemain diaspora dan naturalisasi. Istilah tersebut sebagai sindiran di mana ada unsur lain untuk menambah kekuatan, dalam hal ini kehadiran para pemain diaspora dan naturaliasi.

Ketika melihat starting line-up dalam tiga laga putaran ketiga kualifikasi Piala Dunia 2026 tersebut. Wajar jika kemudian ada sebuah pertanyaan: Inikah wajah Timnas Indonesia?

Wajar pula jika kemudian terjadi bias yang menimbulkan perdebatan yang memunculkan tentang keaslian skuad Indonesia. Ada perasaan menolak terhadap perubahan yang tengah terjadi ini, namun di sisi lain ada juga mereka yang menyambutnya perubahan ini sebagai sesuatu yang positif.

Perbedaan sikap tentang naturalisasi adalah salah satu dinamika yang harus terjadi karena mimpi atau harapan bersama melihat Indonesia tampil di Piala Dunia 2026.

Penyebutan bahwa semua adalah naturalisasi pun sebenarnya keliru. Orang asing yang tanpa memiliki darah keturunan Indonesia tapi menjadi warga negara Indonesia setelah memenuhi sejumlah syarat, disebut dengan naturalisasi.

Sedangkan diaspora adalah mereka yang memiliki darah Indonesia dari keturunan dan memilih menjadi warga negara Indonesia. Dalam hal ini, di skuad Timnas Indonesia yang kemarin tampil lawan Bahrain dengan status naturalisasi hanya Maarten Paes.

Harus dipahami pula bahwa para pemain tersebut baik diaspora dan naturalisasi adalah orang Indonesia karena itu mereka diperlakukan selayaknya orang Indonesia asli karena mereka sudah memenuhi syarat untuk menjadi warga negara Indonesia.

Program yang Massif
Ketika sesuatu terlalu mencolok, terlalu dominan, atau sesuatu tersebut menimbulkan pertanyaan “tepat atau tidak”, adalah hal yang wajar dan alamiah jika kemudian muncul pertanyaan lainnya. Ini pula yang terjadi di sepak bola Indonesia terkait diaspora dan naturalisasi.

Benarkah bahwa program diaspora dan naturalisasi ini terlalu dominan, jika memang jawabannya “ya”, apa yang harus dilakukan terkait yang tengah terjadi saat ini. Karena semua ini akan berpengaruh kepada masa depan sepak bola Indonesia.

Masa depan sepak bola Indonesia di masa yang akan datang juga sama pentingnya. Bahkan jauh lebih penting dari target tampil di Piala Dunia 2026 nanti.

Marc Klok merupakan pemain naturalisasi pertama di era kepelatihan Shin Tae-yong. Lalu Jordi Amat, Sandy Walsh, dan Shayne Pattynama menjadi warga negara Indonesia dengan status diaspora.

Setelah itu, Erick Thohir yang resmi diangkat sebagai Ketua Umum PSSI melanjutkan program diaspora dan naturalisasi PSSI. Diawali dengan Rafael Struick yang resmi menjadi warga negara Indonesia pada 22 Mei 2023 lalu bersama Ivar Jenner.

Dan, yang terjadi kemudian, diaspora lebih banyak lagi di tahun 2024 ini. Dari Justin Hubner, Jay Idzes, Nathan Tjoen-A-on, Ragnar Oratmangoen, Thom Haye, Calvin Verdonk, Mees Hilgers, dan Eliano Reijnders, serta kiper Maarten Paes dengan status naturalisasi.

Total ada 9 pemain dengan status menjadi warga negara Indonesia sepanjang 2024 ini dan daftar tersebut kemungkinan besar akan semakin bertambah. Dengan demikan pula, ada 16 pemain yang menjadi warga negara Indonesia di era kepelatihan Shin Tae-yong. Jika ditempatkan dalam pertanyaan, “Apa yang terjadi saat ini?” Dari aspek kuantitas terhadap pemain diaspora dan naturalisasi, itu merupakan jumlah yang massif (massive).

Pemain diaspora dan naturalisasi Timnas Indonesia era kepelatihan Shin Tae-yong. (Grafis: Menk Karmawan/G-Sports.id).
EROPA :  Daftar pemain diaspora dan naturalisasi Timnas Indonesia era kepelatihan Shin Tae-yong. (Grafis: Menk Karmawan/G-Sports.id).

Harga untuk Sebuah Harapan
Sudah begitu lama publik Tanah Air berharap sepak bola dengan PSSI nya mampu membawa Timnas Indonesia meraih prestasi.

“Latihan, latihan, latihan terus, menangnye kagak!” adalah kalimat yang disampaikan legenda dan budayawan Jakarta, Benyamin Sueb dalam sebuah episode sineteron Si Doel.

Itu bukan hanya sebuah sindiran yang “nyelekit” bagi sepak bola Indonesia yang tidak mampu meraih kemenangan meski sudah bersusah payah, melainkan juga potret dari wajah sepak bola Tanah Air saat itu.

Yang dibutuhkan publik sepak bola Indonesia adalah kemenangan. Yang dibutuhkan adalah progres, atau proses yang memperlihatkan bahwa sepak bola Indonesia dalam kondisi yang berkembang.

Itu adalah impian dan harapan. Sepak bola Indonesia, disadari atau tidak, dalam harapan publik Tanah Air lebih digemparkan dengan insiden-insiden yang mengarah kepada peristiwa yang tragis.

Dari mafia sepak bola, pengaturan skor, atau peristiwa besar nan tragis di mana terjadi tragedi di Stadion Kanjuruhan yang menyebabkan hilangnya ratusan nyawa.

Itu adalah masa-masa gelap di sepak bola Indonesia. Seolah tidak ada ruang bagi sesuatu hal yang positif dalam skala besar di sepak bola Indonesia.

Erick Thohir bersama PSSI kemudian datang dengan program naturalisasi atau diaspora yang dapat dikatakan dilakukan secara massif. Ini seperti jalan tercepat untuk menjawab pertanyaan, harapan, dan keinginan publik sepak bola Tanah Air.

Dan hasilnya sudah terlihat bahwa Timnas Indonesia memang masih di jalan menuju tiket Piala Dunia 2026.

Sikap mempertanyakan naturalisasi yang disampaikan beberapa pihak adalah hal yang wajar. Seperti juga menyikapi “kelompok” yang setuju dengan naturalisasi juga hal yang wajar.

Bagi mereka yang tidak setuju atau kurang setuju, diaspora atau naturaliasi dapat diibaratkan hal tersebut sebagai culture shock. Ada perasaan khawatir, cemas, bahkan tidak nyaman melihat starting line-up dari Timnas Indonesia yang terdiri dari banyak pemain naturalisasi.

Namun, terhadap semua kekhawatiran tersebut, harus pula disikapi sebagai hal yang manusiawi karena semua kekhawatiran dan kegelisahan tersebut lahir dari rasa cinta terhadap sepak bola Indonesia.

Lalu, harus diakui dengan jiwa besar bahwa program naturalisasi atau diaspora yang massif adalah indikasi dari kegagalan menciptakan pemain-pemain berkualitas untuk tampil di level internasional.

Pertanyaan yang menohok, mengapa harus jauh-jauh mencari pemain berkualitas? Ya karena dari kompetisi liga tidak banyak pemain yang memiliki level untuk tampil di tingkat internasional.

Mempertanyakan naluralisasi atau diaspora kini seolah sebuah sikap yang tertinggal karena Timnas Indonesia sudah melangkah lebih jauh.

Meski demikian, bayangkan jika Timnas Indonesia berhasil lolos ke Piala Dunia 2026 yang akan digelar di Jerman nanti. Semua tentu bangga, tapi dengan diam-diam menyimpan senyum miris, jika melihat starting line-up yang diturunkan Shin Tae-yong.

Indonesia berpeluang mengukir sejarah karena tampil di Piala Dunia 2026 untuk pertama kalinya dengan nama Indonesia. Namun, sejarah itu akan diiringi dengan “catatan” tentunya.

Lalu, kita akan bertanya, di mana pemain Indonesia lainnya dalam sejarah ini?

Gambaran Besar di Masa Depan
Berhasil atau tidak Timnas Indonesia tampil di Piala Dunia 2026, gambaran terbesar di masa depan tentang sepak bola Indonesia adalah hal yang jauh lebih penting.

Jika PSSI menempatkan naturalisasi dan diaspora sebagai jalan cepat untuk meraih sebuah prestasi, PSSI juga harus mengiringi dengan program menciptakan telanta-talenta lokal menjadi lebih berkembang.

Naturalisasi yang dilakukan PSSI adalah sebuah momentum. Mendatangkan pemain naturalisasi dan diaspora boleh saja dikatakan sebagai salah satu upaya untuk memberikan motivasi kepada pemain asli Indonesia, sebagai inspirasi bagi para talenta muda.

Namun, dalam momentum ini juga harus dibarengi dengan program yang “massif” tentang pengembangan dan jenjang sepak bola di akar rumput.

Menjadikan naturalisasi sebagai salah satu program yang dapat membantu pengembangan pemain lokal bukan hanya terucap, melainkan juga diperlihatkan dengan program yang kuat.

Tenaga dan upaya yang besar PSSI dalam program naturalisasi harus juga harus memiliki kesetaraan bahkan lebih besar untuk menciptakan program pemain masa depan.

Tidak ada yang alergi tentang naturalisasi atau diaspora, mereka adalah orang Indonesia, tapi sepertinya tetap ada yang salah jika kita tidak menyentuh tentang nasib para pemain muda Indonesia di masa depan.

Seperti kereta cepat, naturalisasi dan diaspora adalah jalan paling cepat atau jalan pintas untuk menjawab keinginan publik sepak bola Indonesia.

Namun, tentu ada talenta-talenta muda yang juga orang Indonesia yang tidak dapat masuk dalam “kereta cepat”, atau khawatir karena tidak adanya program yang kuat yang memberikan mereka kesempatan untuk bermain di Timnas Indonesia di masa depan. (Rakha Alkarimi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Populer

Berita Terkait

PSF Academy