Oleh. Bachtiar Djanan**
TAK TERASA, matahari sudah 1000 kali terbit dan terbenam sejak malam nahas di Stadion Kanjuruhan, Kepanjen, Kabupaten Malang, Sabtu, 1 Oktober 2025 silam, yang merenggut nyawa dan harapan banyak orang.
Namun sampai hari ini jelang 1000 Hari, Kamis 26 Juni 2025, luka Tragedi Kanjuruhan masih menganga. Belum terbalut selubung keadilan yang semestinya.
Angka 135 jiwa melayang, bukan sekadar statistic. Melainkan representasi dari mimpi-mimpi yang tercabut, tawa yang lenyap, dan pelukan yang tak akan pernah lagi menghangatkan.
Bagi keluarga korban, setiap fajar yang menyingsing adalah perpanjangan dari duka tak berujung. Sebuah kepedihan yang kian diperparah oleh keadilan yang tak kunjung terwujud.
Keadilan yang Terpenjara
Sungguh ironis, narasi hukum Tragedi Kanjuruhan seolah telah mencapai babak final. Namun dengan akhir yang menyesakkan.
Pengadilan hanya menjatuhkan vonis kepada lima orang tersangka dengan hukuman yang terasa begitu ringan, sebatas satu hingga dua tahun pidana penjara. Ini adalah pukulan telak yang mencederai hati nurani.
Bagaimana mungkin nyawa 135 insan, sebagian besar adalah anak-anak dan remaja. Hanya “dibayar” dengan vonis yang begitu singkat?.
Vonis yang demikian ringan ini, sama sekali tidak mencerminkan besarnya kerugian jiwa. Juga duka mendalam yang ditinggalkan, menegaskan kegagalan sistem dalam memberikan keadilan retributif yang setimpal.
Lebih dari itu, keterlibatan tersangka yang sangat terbatas memunculkan pertanyaan besar : Apakah ada lapis-lapis tanggung jawab lain yang belum tersentuh hukum? Keluarga korban merasakan pahitnya ketidakadilan. Seolah luka mereka kembali diiris dengan pisau tajam putusan yang tak memuaskan.
Renovasi Fisik, Melupakan Luka Batin?
Di tengah remuk redamnya perjuangan keadilan, Stadion Kanjuruhan, di Kepanjen, Kabupaten Malang, tempat tragedi berdarah itu terjadi, 1000 hari silam.
Kini telah direnovasi total dan kembali difungsikan untuk pertandingan kandang Arema FC, di kompetisi Liga 1. Bagi mereka yang kritis, sangat terasa ada upaya terselubung untuk “move on,” untuk melupakan.
Stadion megah yang menelan biaya renovasi fantastis sebesar Rp357 miliar. Baru saja diresmikan oleh Presiden Prabowo Subianto secara serempak dan terpusat, di Stadion Gelora Delta Sidoarjo, Jawa Timur, Senin (17/03/2025) lalu.
Presiden Prabowo pada 17 Maret 2025. , hanya 898 hari pasca-tragedi. Lewat proyek renovasi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen-PUPR RI) dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Realitas ini menunjukkan prioritas yang mencolok pada pembangunan fisik yang begitu cepat, seolah fondasi beton lebih prioritas daripada fondasi keadilan.
Presiden Prabowo Subianto secara serempak dan terpusat, di Stadion Gelora Delta Sidoarjo, Jawa Timur, Senin (17/03/2025) sore, meresmikan 17 dari 22 stadion yang termasuk proyek renovasi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen-PUPR RI). Bbertepatan 900 hari, pasca terjadinya insiden berdarah Tragedi Kanjuruhan 2022.
Namun, coba bandingkan angka fantastis itu dengan kompensasi atau restitusi yang diputuskan untuk keluarga korban. Dengan total restitusi senilai Rp 1,02 miliar. Sangat jauh dari tuntutan awal mereka sebesar Rp17,2 miliar.
Sebuah kesenjangan yang mencolok, seolah miliaran uang lebih mudah digelontorkan untuk material bangunan. Daripada untuk membalut luka jiwa yang tak ternilai harganya.
Bagi keluarga korban, setiap langkah ini terasa begitu menyakitkan. Dalam proses renovasi stadion ini, mereka mati-matian memprotes ketika Gate 13. Pintu tragis tempat banyak suporter terjebak dan meninggal, akan dibongkar. Berkat desakan banyak pihak, Gate 13 akhirnya dipertahankan.
Ini bukan sekadar tentang struktur bangunan, melainkan tentang memori kolektif yang tak boleh dihapus. Tentang pengingat abadi akan mereka yang telah pergi.
Sebagaimana dijelaskan oleh sosiolog Amerika, Jeffrey Charles Alexander, dalam teorinya tentang trauma kolektif. Peristiwa mengerikan seperti Tragedi Kanjuruhan, tidak hanya mempengaruhi individu. Akan tetapi juga membentuk identitas dan memori sebuah komunitas.
Gate 13 telah menjadi simbol penting dari memori yang harus dijaga. Sebuah ruang untuk berduka dan mengenang. Keinginan tulus keluarga korban untuk mempertahankan Gate 13 adalah bentuk perjuangan mereka melawan lupa. Sebuah tuntutan atas hak untuk memori dan kebenaran.
Retorika vs Realita Keadilan Prosedural
Lalu, ada sosok Ketua Umum PSSI, Erick Thohir. Usai penganugerahan gelar kehormatan Honoris Causa di Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, Jumat (03/03/2023) silam. Atau 15 hari setelah dia secara resmi dikukuhkan menjadi Ketum PSSI, Kamis (16/02/2023).
Erick Thohir lantang bersuara bahwa penuntasan Tragedi Kanjuruhan adalah prioritas utama. Ia berucap, “Kanjuruhan adalah luka bagi sepak bola Indonesia. Ini harus menjadi pelajaran, dan keluarga korban harus mendapatkan keadilan.”
Setelah terpilih, PSSI memang membentuk Tim Transisi dan mengadakan acara seremoni penghormatan. Namun, hingga kini, tak ada perkembangan signifikan dari PSSI. Terkait tuntutan hukum atau ganti rugi.
Bahkan, ketika vonis pengadilan dinilai terlalu ringan oleh keluarga korban. PSSI menyatakan menghormati proses hokum, namun tidak mengajukan upaya hukum lanjutan.
Dari kepemimpinan baru PSSI di bawah Erick Thohir, bila dicermati dengan kritis. Seolah mereka merasa sudah cukup dengan memenuhi aspek keadilan prosedural.
Seperti yang dijelaskan oleh psikolog sosial dari Columbus, Ohio (Amerika Serikat), Tom R. Tyler. Keadilan prosedural adalah tentang bagaimana individu menilai keadilan dari proses pengambilan keputusan, bukan hanya hasilnya.
PSSI mungkin merasa proses hukum yang sudah berjalan harus dihormati. Namun, bagi keluarga korban, keadilan prosedural bukan hanya tentang menghormati putusan. Tetapi juga tentang transparansi penuh, partisipasi mereka, dan keyakinan bahwa semua pihak yang bertanggung jawab telah diperiksa secara adil.
Jika keluarga korban merasa proses ini tidak memenuhi standar tersebut. Maka legitimasi PSSI dalam penanganan kasus ini akan terus dipertanyakan di hati mereka.
Alarm Keras Reformasi Fundamental
Parahnya, pada laga Arema FC versus Persik Kediri, di Stadion Kanjuruhan pasca-renovasi, Minggu tanggal 11 Mei 2025. Kericuhan kembali terjadi dengan adanya pelemparan batu pada bus tim Persik.
Ini adalah alarm keras !. Insiden ini cukup menggambarkan bahwa reformasi fisik saja ternyata tidak cukup. Jadi, masalahnya bukan hanya pada fisik stadion. Tetapi pada kontrol sosial yang masih lemah, pada kultur pengamanan yang belum berubah, dan pada trauma yang belum sembuh.
Kericuhan ini menggarisbawahi adanya ketegangan struktural yang belum terselesaikan. Faktor pemicu kerusuhan masih berpotensi muncul, dan akuntabilitas institusional, baik dari pihak keamanan maupun penyelenggara. Seharusnya mampu menjamin keamanan, sampai saat ini belum sepenuhnya terpenuhi.
Melawan Lupa, Menuntut Tanggung Jawab
Seribu hari pasca Tragedi Kanjuruhan adalah waktu yang lama bagi sebuah luka yang begitu dalam, keadilan seolah dijauhkan. Selayaknya negara harus lebih serius dalam menegakkan akuntabilitas institusional. Tak hanya pada individu di lapangan, tetapi juga pada para komandan dan pembuat kebijakan.
PSSI harus lebih dari sekadar simbolis. Mereka seharusnya mampu menjadi garda terdepan. Dalam memperjuangkan hak-hak korban dan membangun kembali kepercayaan.
Maka, mari kita terus bersuara, menjaga memori, dan menuntut keadilan. Bagi 135 jiwa yang telah pergi, untuk keluarga yang merindukan, dan untuk sepak bola Indonesia yang lebih bermartabat.
Kita tak boleh berhenti. Kenyataannya, luka Tragedi Kanjuruhan memang masih ada. Perjuangan untuk membalutnya dengan keadilan harus terus menyala. Khususnya bagi mereka yang masih mengedepankan hati nurani.
** Bachtiar Djanan (penulis) : adalah periset sosial budaya yang berasal dari Kota Malang, pernah aktif sebagai suporter Arema (Aremania,red).
