Jepang dan Indonesia, Antara Proses dan Jalan Instan

Administrator

16/11/2024

Kekalahan Timnas Indonesia, 0-4 dari Timnas Jepang menimbulkan kekhawatiran tentang nasib masa depan sepak bola Indonesia, khususnya dari grassroot, pembinaan, dan kompetisi. (Grafik: Menk Karmawan/G-Sports.id).
Kekalahan Timnas Indonesia, 0-4 dari Timnas Jepang menimbulkan kekhawatiran tentang nasib masa depan sepak bola Indonesia, khususnya dari grassroot, pembinaan, dan kompetisi. (Grafik: Menk Karmawan/G-Sports.id).

JAKARTA, G-SPORTS.ID – Proses tidak pernah mengkhianati hasil (effort never betrays results). Kemenangan telak 4-0 Jepang atas Indonesia dalam laga Jumat (15/11/2024) malam. Dalam matchday-5 Putaran III Grup C FIFA World Cup Zona AFC (Asia), di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta.

Merupakan contoh yang lugas dari idiom tersebut. Kemenangan Smurai Blue verus Garuda, juga bukan hanya tentang angka atau skor. Melainkan juga tentang “knowledge“, pengetahuan yang menjadi pegangan dalam kehidupan.

Bayangkan jika Indonesia menang atas Jepang, meski dengan skor kemenangan 1-0 mungkin, maka keyakinan tentang “proses” akan runtuh. Jika Indonesia menang atas Jepang, filosofi tentang “proses tidak akan menghianati hasil” dapat ditempatkan sebagai rumus yang gugur atau tidak berlaku lagi dalam kehidupan ini.

Lalu dalam satu momen semua tidak lagi percaya kepada proses. Memilih jalan instan, apapun caranya. Jadi, setelah kekalahan dari Jepang dengan skor 0-4, apakah sepak bola Indonesia berada di fase tidak lagi percaya kepada proses?

Akan lebih baik jika kekalahan dari Jepang, untuk alasan lain, harusnya pantas disyukuri. Ini memberikan kesempatan kepada sepak bola Tanah Air untuk instrospeksi.

Jika Indonesia masih bertanya apakah kita bisa tampil di Piala Dunia 2026 nanti, untuk Jepang pertanyaannya justru “sejauh mana Jepang bisa melangkah” Proses yang membuat Timnas Jepang bisa seperti saat ini sudah dimulai sejak bertahun-tahu lalu.

Tim Samurai Biru bukan seperti Belanda yang memiliki akademi Ajax Amsteredam, atau Spanyol yang ada La Masia, atau di Prancis dengan sekolah atau akademi Clairefontaine, Jepang tidak memiliki culture seperti itu. Ange Postecoglou yang pernah melatih klub Jepang, Yokohama Marinos, pernah menyampaikan salah satu kiat sukses dari sepak bola Jepang.

“Mereka memiliki 60 klub profesional dengan semua sumber daya agar seorang pemain dapat mencapai performa terbaiknya, dengan pendanaan dan fasilitas, dan mereka berpegang teguh pada rencana tersebut,” kata Ange Postecoglou yang pernah berkarier sebagai pelatih di Jepang sejak 2018 hingga 2021.

“Itu merupakan penghargaan bagi JFA (Federasi Sepak Bola Jepang) dan saya pikir itulah alasan mengapa mereka melakukan hal-hal lebih baik daripada kebanyakan negara di Asia,” Ange Postecoglou menambahkan.

Jepang telah membangun proses menjadi tim terbaik di Asia. Mereka melakukannya dengan cara memperkuat liga (J-Jealgue), kompetisi yang telah dibentuk pada 1993 silam. Jepang, tentu saja memilik akademi sepak bola, JFA Academy. Namun, perkembangan sepak bola mereka yang baik diraih karena keberhasilan sepak bola di universitas dan J-League.

Jepang juga tidak alergi dengan sepak bola dari luar. Bahkan, ini juga menjadi salah satu cara untuk memperkaya sepak bola di Negeri Matahari Terbit ini. Dari Zico hingga Andres Iniesta, pernah bermain di klub Jepang.

Namun, itu bukan bagian yang utama dari proses. Bahkan, sudah lama pemain Jepang bermain di liga-liga top Eropa. Kazuyoshi Miura, Hidetoshi Nakata, Shunsuke Nakamura, atau hingga ke generasi saat ini seperti Takefusa Kubo dan Kaoru Mitoma, bermain di klub besar Eropa.

Sepak bola Jepang percaya kepada proses sehingga ketika menghadapi Timnas Indonesia yang muncul adalah pemain-pemain bertalenta. Amuniso  yang sangat bagus di tim asuhan Hajime Moriyasu itu. Pemain-pemain yang sudah mengenal satu dengan yang lainnya.

Mereka memiliki satu bahasa, satu cara sepak bola, satu filosofi, dan satu kebanggaan tentunya. Dari 11 starter Timnas Jepang, hanya Zion Suzuki yang merupakan pemain yang memiliki darah Ghana.

Timnas Indonesia di laga semalam menampilkan 9 starter yang bukan dari jenjang kompetisi liga nasional, alias pemain dengan naturalisasi atau dispora. Para pemain naturaliasi ini bermain di klub Eropa.

Timnas Jepang juga menurunkan starter yang juga bermain di klub-klub Eropa. Namun, tentu saja ada perbedaan yang sangat besar bagaimana “proses” para pemain Jepang ini bisa sampai masuk Tim Samurai Biru.

Mereka adalah hasil dari proses menanam sehingga memiliki akar yang kuat dan dapat bermain di klub-klub ternama Eropa. Mereka berangkat dari level junior di klub, universitas, hingga ke kompetisi J-League.

Sedangkan 9 dari 11 pemain timnas Indonesia yang diturunkan dalam starter oleh Shin Tae-yong, saat lawan Jepang adalah proses petik begitu saja dengan program naturalisasi. Dengan banyaknya pemain naturalisasi saat ini di Timnas Indonesia, memengaruhi aspek durasi persiapannya.

“Persiapan yang naturalisasi itu tidak terlalu lama. Beda dengan Jepang, mereka sudah asli orang Jepang yang ada di klub-klub Eropa. Sementara kita mengambil darah Indonesia tapi yang sepak bolanya (klub) belum tentu kualitasnya,” kata Adeng Hudaya, kapten Persib Bandung 1984-1990 yang juga mantan pemain Timnas Indonesia.

Jadi sudah dapat diprediksi dalam laga semalam bahwa Indonesia akan kesulitan melewati para pemain Jepang yang tentu sudah memiliki persiapan yang sangat panjang. Persiapan di sini bukan hanya tentang beberapa hari dalam camp latihan malinkan fase yang berkesinambungan yang membuat mereka sudah saling mengenal baik secara individu maupun karakter permainan.

“Baik dari sepak bola, dari tradisi, gerakan, kerja sama, semua kita kalah jauh,” Adeng Hudaya menambahkan.

Laga Indonesia vs Jepang adalah contoh antara dua tim yang suskes karena proses sedangkan satunya lagi tim yang masih mencari jalan keluar dengan cara yang instan.

“Jepang bagus, makanya untuk PSSI hadirlah ke grassroot, ini (naturalisasi) silahkan berjalan tapi di grassroot diperbaiki semuanya,” kata Yoko Anggasurya, tokoh sepak bola yang juga merupakan Pembina dan Ketua Umum PSSI Bandung, tentang perbedaan antara Jepang dan Indonesia.

“Tapi, memang salahnya sudah terlalu jauh, ketinggalannya sudah terlalu jauh. Maka PSSI dengan naturaliasi sekarang, jangan melupakan grassroot-nya, jangan melupakan kompetisinya. Elite pro juga masih belum bagus ko, coba lihat. Kalau orang bilang bagus, saya bilang jelek,” dia menambahkan.

Banyak hal yang juga lebih penting selain tentang naturaliasi. Contohnya, bagaimana perlunya pengawasan yang tepat di level pelatih.

“Perbaiki mulai dari sistem kompetisi sampai kepelatihan, karena masih banyak pelatih-pelatih yang baru lisensi D ada juga yang belum punya lisensi sudah turun melatih, hasilnya tidak akan baik,” kata Yoko Anggasurya lagi.

“Kalau mengikuti Jepang, ya sudah lewat lah, karena mereka hampir lebih dari 20 tahun sudah dipersiapkan. Makanya levelnya sudah level dunia, kalau kita kan hanya kebetulan aja dengan skuad yang ada saat ini, belum bisa berbicara,” kata Adeng Hudaya terkait perbedaan ini.

Naturalisasi memang sudah berjalan. Namun, masalahnya bukanlah tentang naturalisasi, melainkan tentang sepak bola Indonesia di masa depan.

“Natuliralisasi memang mengangkat Indonesia. Namun, saya harapkan pembinaan yang nonnaturalisasi juga ditingkatkan. Lalu kompetisinya, karena pembinaan tanpa kompetisi percuma juga,” kata Kosasih, legenda Persib Bandung era 1980-1990.

“Anak-anak Indonesia antusias sekali dan kita memiliki modal itu. Jadi, dengan pembinaan yang baik dan kompetisi yang baik, kita bisa berharap pada 15 tahun lagi, kita akan memiliki pemain-pemain yang bisa berbicara di level asia,” Kosasih menambahkan.

Sepak bola Jepang kini tumbuh di atas grasroot yang hijau. Sepak bola yang yang terus menunculkan talanta-talenta muda yang tumbuh karena pembinaan, jenjang, dan kompetisi yang bagus. Sedangkan bola di kaki Indonesia belum memperlihatkan tanda-tanda arah yang tepat bagi para generasi muda di grassroot.

Naturalisasi kini menjadi pertanyaan besar ketika dihadapkan dengan Jepang, tim yang lebih percaya kepada proses ketimbang cara instan. Jika kita harus memilih, tentu kita akan memilih proses dengan cara yang tepat, meski terlihat terlambat, tapi kita bisa berharap tentang sepak bola Indonesia di masa depan yang lebih berbicara di Asia. (Arief K/Rakha Alkarimi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Populer

Berita Terkait

PSF Academy